Sabtu, 14 November 2009

KULIAH: Manajemen Madrasah/ Sekolah


Peran Pendidik dan Tenaga Kependidikan Terhadap MBS (Manajemen Berbasis Sekolah)
Pendahuluan
Konsep Manajemen Berbasis Sekolah – selanjutnya akan disingkat dengan MBS – sebenarnya bukan lagi wacana baru dalam dunia pendidikan Indonesia. Konsep ini telah disosialisasikan bersamaan dengan pewacanaan kurikulum 1994 pada tenaga pendidik dan kependidikan. Capaian untuk menjadi Sekolah Mandiri pada masa itu belum dapat terpenuhi karena pemerintah tidak memonitor pelaksanaan program tersebut di lapangan.
Melalui makalah ini, wacana MBS akan dikaji dari perspektif legal basis dimana pembahasannya tentu akan sangat terkait dengan paradigma ekonomi dan unsur pedagogik dalam konsep tersebut. Tentunya sebelum melangkah pada bagian pembahasan, maka akan didahului dengan rangkuman gagasan mengenai konsep MBS terlebih dahulu.
A. Latar Belakang MBS
Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada bagian penjelasan pasal 51 ayat 1, “manajemen berbasis sekolah atau madrasah adalah bentuk otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan, yang dalam hal ini kepala sekolah atau madrasah dan guru dibantu oleh komite sekolah atau madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan”. Definisi MBS diuraikan lebih rinci sebagai suatu pendekatan politik yang bertujuan untuk melakukan redesain terhadap pengelolaan sekolah dengan memberikan kekuasaan pada kepala sekolah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup guru, siswa, kepala sekolah, orang tua siswa, dan masyarakat (Fattah, 2004).
Kembali populernya konsep MBS yang sangat kental dengan semangat desentralisasi ini tentunya cukup erat berkaitan dengan diundangkannya UU No. 25 Tahun 1999 tentang otonomi daerah. Terlebih lagi setelah disahkannya UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dan penyempurnaan UU No. 25 Tahun 1999 tentang otonomi daerah menjadi UU No. 32 Tahun 2004, desentralisasi pendidikan tidak hanya dilimpahkan pada pemerintah daerah namun hingga ke tingkat satuan pendidikan.
B. Prinsip-Prinsip MBS
Terdapat empat prinsip MBS yaitu prinsip equifinalitas, prinsip desentralisasi, prinsip pengelolaan mandiri dan prinsip inisiatif manusia yang secara jelas diuraikan sebagai berikut (Cheng, op.cit, hh, 48-58).
1. Prinsip Equifinalitas; Prinsip equifinalitas ini mendorong terjadinya desentralisasi kekuasaan dan mempersilahkan sekolah memiliki mobilitas yang cukup, berkembang dan bekerja menurut strategi uniknya masing-masing untuk mengelola sekolahnya secara efekif.
2. Prinsip Desentralisasi (Decentralization); Tujuan dari prinsip desentralisasi adalah memecahkan masalah secara efisien dan bukan menghindari masalah. Maka MBS harus mampu menemukan permasalahan, memecahkannya tepat waktu dan memberi kontribusi terhadap efektivitas aktivitas belajar mengajar.
3. Prinsip Sistem Pengelolaan Mandiri (Self-Managing System); amat penting dengan mempersilahkan sekolah untuk memiliki sistem pengelolaan mandiri (self-managing system) di bawah kendali kebijakan dan struktur utama, memiliki otonomi untuk mengembangkan tujuan pengajaran dan strategi manajemen, mendistribusikan sumber daya manusia dan sumber daya lain, memecahkan masalah dan meraih tujuan menurut kondisi mereka masing-masing.
4. Prinsip Inisiatif Manusia (Human Initiative); Perspektif sumber daya manusia menekankan pentingnya sumber daya manusia sehingga poin utama manajemen adalah untuk mengembangkan sumber daya manusia di sekolah untuk lebih berperan dan berinisiatif. Maka MBS bertujuan untuk membangun lingkungan yang sesuai dengan para konstituen sekolah untuk berpartisipasi secara luas dan mengembangkan potensi mereka. Peningkatan kualitas pendidikan terutama berasal dari kemajuan proses internal, khususnya dari aspek manusia.
C. Perkembangan MBS
Indikator Sekolah Ber-MBS. Hasil curah pendapat peserta lokakarya MBS –Komite Sekolah, Kepala Sekolah, Guru dan Pengawas, November 2003 di Bandung Jawa Barat:
“(1) Partisipasi masyarakat diwadahi melalui Komite Sekolah, (2) Transfaransi pengelolaan sekolah (program dan anggaran), (3) Program sekolah realistik – need assessment, (4) Pemahaman stakeholder mengenai Visi dan Misi sekolah, (5) Lingkungan fisik sekolah nyaman, terawatt, (6) Iklim sekolah kondusif, (7) Berorientasi mutu, penciptaan budaya mutu, (8) Meningkatnya kinerja profesional kepala sekolah dan guru, (9) Kepemimpinan sekolah berkembang demokratis – policy and decision making, planning and programming, (10) Upaya memenuhi fasilitas pendukung KBM meningkat, (11) Kesejahteraan guru meningkat, (12) Pelayanan berorientasi pada siswa/murid, (13) Budaya konformitas dalam pengelolaan sekolah berkurang”.
BAB I:
Tenaga Pendidik (Guru) dalam Pelaksanaan MBS
Peran Para Guru. Dalam MBS, cita-cita sekolah dan strategi-strategi pengelolaan mendorong partisipasi dan perkembangan dan peran guru adalah sebagai rekan kerja, pengambil keputusan dan pengimplementasi. Mereka bekerja bersama-sama dengan komitmen bersama dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan untuk mempromosikan pengajaran efektif dan mengembangkan sekolah mereka dengan antusiasme. Dalam implementasi MBS guru berdedikasi pada “Pembelajaran Aktif, Kreatif, dan Menyenangkan” yang sebenarnya sudah sangat sejalan dengan prinsip humanisme dalam pendidikan yang memanusiakan manusia, telah diredusir dengan unsur “Efektif” yang menjadi penutup definisi PAKEM secara keseluruhan. Unsur “Efektif” yang merupakan bagian dari tuntutan mutu dalam perspektif ekonomi. Maka dari uraian di atas akan bertujuan:
a. Siswa terlibat dalam berbagai kegiatan yang mengembangkan pemahaman dan kemampuan mereka dengan penekanan pada belajar melalui berbuat.
b. Guru menggunakan berbagai alat bantu dan berbagai cara dalam membangkitkan semangat, termasuk menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar untuk menjadikan pembelajaran menarik, menyenangkan, dan cocok bagi siswa.
c. Guru mengatur kelas dengan memajang buku-buku dan bahan belajar yang lebih menarik dan menyediakan ‘pojok baca’Guru menerapkan cara mengajar yang lebih kooperatif dan interaktif, termasuk cara belajar kelompok.
d. Guru mendorong siswa untuk menemukan caranya sendiri dalam pemecahan suatu masalah, untuk mengungkapkan gagasannya, dan melibatkan siswa dalam menciptakan lingkungan sekolahnya.
BAB II:
Peran Kepala Sekolah dalam MBS
Kepala sekolah dan guru-guru adalah tenaga profesional yang memiliki keahlian khusus dan pengalaman profesional dalam penyelenggaraan sekolah dan pembelajaran. Kapasitas profesional dan proses validasi empirik merupakan esensi otonomi profesional. Tenaga profesional di sekolah adalah orang-orang yang memiliki kewenangan otonomi profesional yang juga mengandung makna kemampuan menterjemahkan kebijakan pemerintah (standar-standar) dan ketentuan lainnya sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan anak didik dan stakeholder lainnya.
Kepala sekolah dalam implementasi MBS dituntut merefleksikan strategi-strategi manajemen sebagai berikut:
a. Konsep atau asumsi tentang hakikat manusia; MBS dapat menyediakan fleksibilitas lebih dan kesempatan untuk memuaskan kebutuhan-kebuthan guru dan siswa dan memberi peran terhadap talenta-talenta mereka.
b. Konsep organisasi sekolah; Sekolah sebagai organisasi tidak sekedar tempat persiapan anak-anak dimasa mendatang, tetapi juga tempat untuk siswa-siswa atau guru dan admnistrator untuk hidup, tumbuh dan menjalani perkembangan.
c. Gaya pengambilan keputusan; Dalam MBS maka gaya pengambilan keputusan pada tingkat sekolah adalah pembagian kekuasaan (power sharing) atau partisipasi (partisipation).
d. Gaya kepemimpinan; Dalam merespon perubahan ke MBS maka gaya kepemimpinan kepala sekolah berubah dari tingkat rendah ke pememimpinan multi tingkat, berarti tidak hanya kepemimpinan teknis dan manusia melainkan juga kepemimpinan kependidikan, simbolik dan budaya.
e. Pengunaan kekuasaan; MBS dimaksudkan untuk mengembangkan SDM dan mendorong komitten dan inisiatif warga sekolah, maka gaya tradisional dalam penggunaan kekuasaan harus dirubah.
f. Keterampilan-keterampilan manajemen; Ketika mengadopsi MBS maka pekerjaan manajemen internal menjadi lebih kompleks dan berat oleh karena itu diperlukan konsep-konsep baru dalam keterampilan manajemen baru. Misalnya metode-metode ilmiah untuk analisis keputusan, keterampilan mengelola konflik, strategi efektif untuk perubahan dan perkembangan organisasi.
Komite Sekolah
Keberadaan Komite Sekolah alih-alih menjadi tak lebih dari salah satu prasyarat untuk mendapatkan akreditasi. Apalagi tujuannya kalau bukan untuk mengejar kucuran dana hibah dari pemerintah. Ironisnya, hanya sekolah-sekolah unggulan saja yang akan berhasil dalam kompetisi dana hibah ini. Komite Sekolah yang juga merupakan perwujudan dari Peran Serta Masyarakat (PSM) ini sebenarnya sangat sejalan dengan konsep tri pusat yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara.
Jika sekolah masih menganggap keberadaan Komite Sekolah hanya sebagai salah satu prasyarat untuk meraih akreditasi dan tidak memberikan edukasi yang optimal tentang peran strategis yang seharusnya dapat diemban oleh orang tua siswa dalam Komite Sekolah atau malah memagari diri dari Komite Sekolah, maka Permendiknas No. 19 Tahun 2007 tentang standar pengelolaan pendidikan alih-alih menjadi legalitas keberadaan Komite Sekolah semata. Fungsi Komite Sekolah yang seharusnya menjadi mitra sekolah dalam proses penyelenggaraan pendidikan hanya akan menjadi utopia belaka.
Beberapa fakta tentang komite Sekolah:
1. Di sebagian daerah, sosialisasi tentang peran komite Sekolah kepada masyarakat belum efektif
2. Di beberapa sekolah, komite Sekolah hanya berperan sebagai ‘alat kelengkapan sekolah
3. komite Sekolah hanya difungsikan sebagai pengumpul dana untuk membiayai program sekolah
4. Tugas pokok dan fungsi komite Sekolah belum dilaksanakan secara optimal
5. Di beberapa sekolah, komposisi keanggotaan laki-laki dan perempuan dalam organisasi komite Sekolah belum berimbang
Peran Masyarakat dan Pakar Pendidikan
Peran serta masyarakat adalah kontribusi, sumbangan, dan keikutsertaan masyarakat dalam menunjang upaya peningkatan mutu pendidikan. Pada masa sekarang tentunya Anda juga setuju, bahwa perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring pendidikan melibatkan peran serta masyarakat. Peran serta masyarakat khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat minim.
Yang termasuk komponen masyarakat ialah orang tua siswa, tokoh masyarakat, tokoh agama, dunia usaha dan dunia industri, dan lembaga sosial budaya.. Peran serta mereka dalam pendidikan berkaitan dengan: (1) pengambilan keputusan, (2) pelaksanaan, dan (3) penilaian. Peran serta dalam mengambil keputusan misalnya ketika sekolah mengundang rapat bersama komite sekolah untuk membahas perkembangan sekolah, masyarakat yang dalam hal ini orang tua, anggota komite sekolah, atau wakil dari dunia bisnis dan industri secara bersama-sama memberikan sumbang saran dan berakhir dengan pengambilan keputusan. Berdasarkan keputusan yang telah disepakati, maka keputusan tersebut tentunya akan dilaksanakan dalam menunjang pencapaian mutu pendidikan. Demikian pula dalam perjalanan program, tentunya perlu kontrol dan upaya-upaya untuk memperbaiki. Hal itu merupakan contoh peran serta masyarakat dalam mengevaluasi.
Warga sekolah (guru, siswa, karyawan) dan masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, usahawan, dan sebagainya) didorong untuk terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai dari pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa jika seseorang dilibatkan (berpartisipasi) dalam penyelenggaraan pendidikan, maka yang bersangku-tan akan mempunyai “rasa memiliki” terhadap sekolah, sehingga yang bersangkutan juga akan bertanggungjawab dan berdedikasi dalam mencapai tujuan sekolah. Makin besar tingkat partisipasi, makin besar pula rasa memiliki; makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggungjawab; dan makin besar rasa tanggungjawab, makin besar pula dedikasinya. Pelibatan warga sekolah dalam penyelenggaraan sekolah harus mempertimbangkan keahlian, batas kewenangan, dan relevansinya dengan tujuan partisipasi. Peningkatan partisipasi warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan sekolah akan mampu menciptakan: (a) keterbukaan (transparansi); (b) kerja sama yang kuat; (c) akuntabilitas; dan (d) demokrasi pendidikan.
Kesimpulan
Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebagaimana telah diuraikan di atas, esensinya adalah peningkatan otonomi sekolah, peningkatan partisipasi warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, dan peningkatan fleksibilitas pengelolaan sumberdaya sekolah. Konsep ini membawa konsekuensi bahwa pelaksanaan MBS sudah sepantasnya menerapkan pendekatan ”idiograpik” (membolehkan adanya keberbagaian cara melaksanakan MBS) dan bukan lagi menggunakan pendekatan ”nomotetik” (cara melaksanakan MBS yang cenderung seragam/konformis untuk semua sekolah).
Oleh karena itu, dalam arti sebenarnya, tidak ada satu resep pelaksanaan MBS yang sama untuk diberlakukan ke semua sekolah. Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa mengubah pendekatan manajemen peningkatan mutu berbasis pusat menjadi manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah bukanlah merupakan proses sekali jadi dan bagus hasilnya (one-shot and quick-fix), akan tetapi merupakan proses yang berlangsung secara terus menerus dan melibatkan semua pihak yang bertanggungjawab dalam penyelenggaraan pendidikan persekolahan.
Hambatan Dalam Penerapan MBS
Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan dalam penerapan MBS adalah sebagai berikut.
1. Tidak Berminat Untuk Terlibat; Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.
2. Tidak Efisien; Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis.
3. Pikiran Kelompok; Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit "pikiran kelompok." Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.
4. Memerlukan Pelatihan; Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.
5. Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru; Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.
6. Kesulitan Koordinasi; Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah.
Apabila pihak-pihak yang berkepentingan telah dilibatkan sejak awal, mereka dapat memastikan bahwa setiap hambatan telah ditangani sebelum penerapan MBS. Dua unsur penting adalah pelatihan yang cukup tentang MBS dan klarifikasi peran dan tanggung jawab serta hasil yang diharapkan kepada semua pihak yang berkepentingan. Selain itu, semua yang terlibat harus memahami apa saja tanggung jawab pengambilan keputusan yang dapat dibagi, oleh siapa, dan pada level mana dalam organisasi.
Kajian mengenai wacana MBS ini hanya membahas sebagian kecil aspek dari berbagai macam buntut permasalahan yang mengekor konsep MBS. Hendaknya kajian-kajian yang selanjutnya akan dilakukan lebih mengeksplorasi secara mendalam dengan penambahan bukti-bukti hasil penelitian lapangan terhadap implementasi MBS.

Tidak ada komentar: